Surat Kecil Untuk Cinta
Mungkin harus ku lupakan semua rasa di hati ini. Yang bergejolak dan bertentangan dengan hati nurani. Mungkin,harus ku relakan semua tertinggal di masa laluku yang tak pernah bisa lagi kurasakan saat ini. Mungkin, aku memang tidak sempurna untukmu. Tapi aku memiliki cinta yang sempurna, hidup dan mimpi yang akan menyempurnakan hidupmu. Mungkin, aku memanglah bukan pilihan hatimu. Tapi, berikanlah aku sedikit potongan hati kecilmu. Bukan sebagai rasa kasihan, tapi rasa tulus sebagai seseorang yang berharga dalam hidupmu.
01 November 2011
Aku seolah berjalan di atas awan, ku kerahkan seluruh
kecepatan untuk segera sampai menjemputmu yang mungkin memang sedang menunggu ku.
Aku sahabatmu, yang akan setia di sampingmu kala kau membutuhkanku. Meski hanya
sedikit harapan kecil di hatimu tersisa untukku. Bagiku… bersamamu adalah kisah
lain dari sisi pedihnya hati yang dulu pernah aku alami. Dan mungkin kau telah melupakan
semua itu perlahan seiring waktu berlalu. Tapi, maaf… aku tak bisa lagi
menjemputmu, menemanimu, menjagamu dan menjadi pundak airmata kala itu terjatuh.
Aku telah tiada mungkin nanti setelah kau kembali dari australy. Aku hanya bisa menitip seribu
salam pada kotak kaca. Disana ku sisipkan surat kecilku untukmu, juga untuk
tuhan. Ku ingin kau membacanya satu persatu ketika kau mendapatkannya dari
tangan orang tuaku. Ku ingin kau
membacanya satu pesatu hingga kau
mendapatkan pendamping hidupmu yang mampu menggantikan aku untuk tetap
menjagamu. Aku mencintaimu lebih dari seorang sahabat atau kakak bagimu. Aku
mencintaimu tulus dari dalam hatiku untuk menjadi pendampingmu, yang menjagamu dan
mencintaimu hingga akhir hayatku. Aku
mencintaimu, sangatlah mencintaimu. Aku
terus melihatmu, aku mendo’akan yang
terbaik untukmu.
01 November 2012
Mentari pagi ini bersinar cerah, aku sampai di Indonesia
setelah setahun lamanya menjalani masa study di Adelaide australy. Tak sabar
hati bertemu dengan orang-orang yang ku sayangi. Papah… mamah… rara, juga rian sahabat karibku sejak semasa SMP.
Tak terhitung waktuku bersamanya hingga kami lulus SMA bersama. Aku memilih
untuk kuliah di Adelaide Australy
dan Dia lebih memilih kuliah di
universitas Jakarta dengan beasiswa yang
dia dapatkannya sewaktu SMA. Dia Rian,
sahabatku yang sangat menjagaku. Dia Rian yang sangat menyayangiku dan aku pun
menyayanginya.
“ Pratitha Arya putriani!!!.” Suara itu…….
“ Mamaaaaahhhhhh…..!!!!!.” aku berteriak sekeras mungkin
sambil mencari-cari dari mana asal suara mamah
memanggilku.
Ku teteskan air mata kerinduan, karena tak kunjung ku temukan dimana mamah
berada. Aku terpaku disini. Mereka bilang ingin menjemputku setelah sampai di
Indonesia. Tapi, mana….??? Rinduku tak terbendung lagi. Derai air mata terus mengalir.
Namun seorang memeluk dari belakangku, dia memelukku erat seolah tak ingin
melepaskanku. Ku memberontak. Dan itu mamah, papah, juga
rara. Mereka tersenyum bahagia mellihatku selamat sampai di Indonesia. Negri
tercinta yang tak pernah ku pijaki setahun lamanya. Kerinduan yang tak terhingga
hingga air mata pun tak dapat berhenti untuk terus mengalir.
“ kakak…!!.” Adik kecil manisku memeluk tubuh ini erat.
Hingga tak mampu ku tahan untuk tidak mencubit pipinya yang cabi itu. Aku pun
menggendongnya.
“ ade gemukkan yah, ternyata setelah kakak pergi ke luar negri untuk kuliah. Gak berebutan
makanan lagi yah sama kakak.” Ungkapku sambil terus meneteskan air mata bahagia
karena rindu ini akhirnya terbalaskan.
“ iya kak.” Jawab singkat rara sambil mencium keningku.
Karena aku terus mendekapnya dalam gendonganku.
“ kalau kakak ada disini, nanti ade berebutan makanan lagi
sama kakak. Mau???.” Tanyaku sedikit meledeknya.
“ gak apa-apa deh. Asalkan kakak ada di sini, nemenin rara.
Rara kesepian, kakak gak ada di sini. Nanti makanan rara buat kakak aja biar
kakak gak balik lagi ke australy.” Ungkap rara, adik kecilku yang berusia enam
tahun itu. Air mata makin berlinang
mendengar ucapannya. Begitu polosnya dia berkata seperti itu. Mamah dan papah
tertawa kecil sambil menahan air mata di pelupuk matanya yang mulai menggenang.
Aku turunkan rara dari pelukkanku.
“ pah, mah…!.” Aku memeluk kedua orang tuaku. Cukup lama tak
kurasakan peluk hangat orang tua yang sedari kecil merawatku dengan cinta kasihnya.
“ tha’,” mamah memanggilku dengan panggilan khasnya sejak
dulu hingga sekarang. semua memang tidak
berubah.
“ kami semua kangen sama kamu sayang.” ungkap papah, sambil
mengelus rambutku yang terurai panjang.
Kami pun pulang kerumah. Namun seolah ada yang terlupa, tapi
aku bingung apa itu. Dan aku pun terlelap karena lelah yang kurasakan membuat
tubuhku terasa sakit dan pegal-pegal.
02-November-2012
Baru kusadari apa yang semenjak kemarin terlupakan, baru ku
sadari begitu pentingnya sampai aku sendiri melupakannya. Begitu berharganya
sampai membuatku resah, begitu berarti di hidupku. dialah sahabatku, Rian
Pramudiansyah ardistya. Sahabat semasa
SMP dulu yang selalu jadi pelindung kala ku di jahili oleh teman-temanku.
Dengan segera ku
membuka jendela di pagi hari, agar
cahayanya masuk ketiap sudut kamar yang setahun lamanya tak pernah aku singgahi
dan aku tiduri. Masih seperti dulu, sama seperti kala aku meninggalkannya untuk
pergi study. Aku langsung bergegas mandi dan berpakaian rapi. Ingin hati menyapa
dan memberi kejutan kepada sahabat atas kepulanganku ke Indonesia.
“ pagi, , pah mah, rara.” Sapaku pada mereka kala bertemu di
maja makan.
“ tidurnya nyenyak ya ka.” Tanya rara.
“ iya sayang, kakak lelah banget. Badan serasa sakit dan
pegal-pegal.” Ungkapkku rada mengeluh.
“ mau kerumah sakit tha’,…?.” Tanya mamah.
“ gak ahk mah, Cuma sakit gini doang.nanti juga hilang sendiri.” Ungkapku sambil
mengunyah roti rasa selai stroberi kesukaanku.
“ rapih banget, mau
kemana kamu tha’,…?.” Tanya papah, sambil menyeruput kopi kemudian kembali
membaca Koran pagi.
“ mau kerumah rian. Kangen sama dia. Sekalian mau kasih
kejutan atas kepulanganku.” Ungkapku begitu bahagia.
“ rian…???.” Ungkap mereka semua terkejut.
Mencoba meyakinkan
mereka aku mengangguk sambil tersenyum.
“ kakak, kak rian sudah gak ada.” Ungkap rara.
“ maksud kamu apa sih, masih anak kecil gak tau apa-apa.
Mending kamu abisin sarapannya terus berangkat k sekolah yuk. Kakak antar.”
Ungkapku, tak mempercayai perkataan rara
meski wajah polosnya berusaha meyakinkan aku.
“ tha’, Rian memang sudah meninggal.” Ungkap mamah, sambil
mengusap-usap pundakku.
“ mah, jangan
bercanda deh.” Ungkapku sambil tertawa-tawa. Meski sebenarnya hati
bimbang dan kecewa. Mengapa? Mereka berkata demikian,padahal aku yakin Rian
masih hidup dan menungguku. Menunggu, kami bermain kembali di taman, bersepeda dan
jalan bersama.
“ benar apa kata mamahmu tha’,.” Ujar papa membenarkan
perkataan mamah.
“ gak mungkin pah, rian tega ninggalin aku sendiri. Dia
janji mau menjaga aku sampai aku temukan pendamping hidupku. Gak mungkin rian
mengingkari janjinya. Gak mungkin.” Aku
terisak menangis, kemudian pergi kerumahnya mengendarai mobil yang setahun lamanya
tak pernah aku kendarai lagi.
Sesampainya di rumah rian. Ku lihat tante irna, mamah rian
sedang menyirami bunga kesayangannya. Aku parkirkan mobil, dan turun
mengahampirinya.
“ tante.” Panggilku. Tante irna menoleh dan tersenyum
bahagia.
“ Titha, kamu udah pulang ke Indo… senang tante bisa melihatmu baik-baik saja.”
Ungkap tante irna, sambil memelukku erat, kemudian mempersilahkan aku untuk
masuk dan duduk di ruang tamu. Ruangan dimana dulu aku sering belajar bareng
dan bercanda bersama Rian.
Tante membawakan teh hangat dan meletakkannya diatas meja
yang berhadapan denganku. Tante pun duduk di sampingku. Sambil tersenyum
bahagia.
“ tante,” ujarku.
“ ya tha’.” Jawabnya.
“ rian mana?.” Tanyaku sambil mencari-cari.
“ tha’, jujur tante
gak mau mengingat semua ini. Tapi, tante gak bisa menutupinya dari kamu. Kamu
sahabatnya, dan rian juga sangat
menyayangi kamu.” Ungkap tante irna.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini.
“ rian mana tante.” Ujarku bertanya seolah tak kuasa menahan
rasa penasaran dan sesak yang menyiksa batinku.
“ rian sudah meninggal, setahun yang lalu.” Ungkap tante,
kemudian menangis.
“ setahun yang lalu.” Ku ingat terakhir kali aku bertemu
dengannya.
Wajah pucat pasi yang
saat itu menggambarkan bahwa keadaanya memang sedang tidak baik. Namun, ia
tetap bersemangat dan tersenyum. Sambil berkata. “jaga diri ya. Jangan pernah
lupain gue.” Ungkapnya.
“ rian mengalami kecelakaan setelah mengantarmu ke bandara.”
Ungkap tante sambil menahan sesak dan air matanya. Aku semakin tidak percaya
akan semua ini, semakin sesak dan tak mampu membendung air mata yang kian
memberontak untuk keluar dan mengalir deras.
“ dia koma’, karena kecelakaan itu. Dia kekurangan darah.
Dan akhirnya rian tak tertolong.” Ungkap tante irna terus menangis. Ku merangkulnya, memberikan pundakku untuk
tempatnya meluapkan airmata dan sesak kehilangan anak yang sangat dia sayangi
itu.
“ gak mungkin tan, rian pergi begitu saja. Dia berjanji untuk terus menemani aku. Dia gak
pernah ingkar janji . Gak pernah.” Ungkapku terisak sambil menghapus air mata
tante irna yang terus menderas. Tetapi tante irna terus meyakinkanku agar percaya
atas semua ucapannya, dan memang kenyataan yang sulit tuk ku hadapi. Aku
menunduk, dan menangis. Air mata seolah tumpah semua ke pipi dan menetes-netes
membasahi pakaianku.
Ku menoleh ke atas meja bundar di pojok ruangan, masih
terpajang dengan jelas foto kita berdua. Sewaktu kelulusan SMA. Foto terakhir
sebelum aku berangkat ke Adelaide Australy.
Wajahnya begitu ceria, seolah meninggalkan jejak perih dalam
kenangan batin ini. Senyumannya sungguh membuat sesak dadaku, seolah menjerit
dalam dinding kerongkonganku. Aku ingin melihatnya lagi Tuhan, aku ingin
bersamanya lagi Tuhan. Aku ingin melihat senyumannya lagi. Aku tak ingin
menyiakannya lagi Tuhan. Namun… semua terlambat. Dan semua takkan kembali
terulang untuk kedua kalinya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar