Minggu, 18 November 2012

Skuc1


Surat Kecil Untuk Cinta


Mungkin harus ku lupakan semua rasa di hati ini. Yang bergejolak dan bertentangan dengan hati nurani. Mungkin,harus ku relakan semua tertinggal di masa laluku yang tak pernah bisa lagi kurasakan saat ini. Mungkin, aku memang tidak sempurna untukmu. Tapi aku memiliki cinta yang sempurna, hidup dan mimpi yang akan menyempurnakan  hidupmu. Mungkin, aku memanglah bukan pilihan hatimu. Tapi, berikanlah aku sedikit potongan hati kecilmu. Bukan sebagai rasa kasihan, tapi rasa tulus sebagai seseorang yang berharga dalam hidupmu.
01 November 2011
Aku seolah berjalan di atas awan, ku kerahkan seluruh kecepatan untuk segera sampai menjemputmu yang mungkin memang sedang menunggu ku. Aku sahabatmu, yang akan setia di sampingmu kala kau membutuhkanku. Meski hanya sedikit harapan kecil di hatimu tersisa untukku. Bagiku… bersamamu adalah kisah lain dari sisi pedihnya hati yang dulu pernah aku alami. Dan mungkin kau telah melupakan semua itu perlahan seiring waktu berlalu. Tapi, maaf… aku tak bisa lagi menjemputmu, menemanimu, menjagamu dan menjadi pundak airmata kala itu terjatuh. Aku telah tiada mungkin nanti setelah kau kembali  dari australy. Aku hanya bisa menitip seribu salam pada kotak kaca. Disana ku sisipkan surat kecilku untukmu, juga untuk tuhan. Ku ingin kau membacanya satu persatu ketika kau mendapatkannya dari tangan orang tuaku.  Ku ingin kau membacanya  satu pesatu hingga kau mendapatkan pendamping hidupmu yang mampu menggantikan aku untuk tetap menjagamu. Aku mencintaimu lebih dari seorang sahabat atau kakak bagimu. Aku mencintaimu tulus dari dalam hatiku untuk menjadi pendampingmu, yang menjagamu dan mencintaimu hingga akhir hayatku.  Aku mencintaimu,  sangatlah mencintaimu. Aku terus melihatmu,  aku mendo’akan yang terbaik untukmu.

01 November 2012
Mentari pagi ini bersinar cerah, aku sampai di Indonesia setelah setahun lamanya menjalani masa study di Adelaide australy. Tak sabar hati bertemu dengan orang-orang yang ku sayangi. Papah… mamah… rara,  juga rian sahabat karibku sejak semasa SMP. Tak terhitung waktuku bersamanya hingga kami lulus SMA bersama. Aku memilih untuk kuliah  di Adelaide Australy dan  Dia lebih memilih kuliah di universitas  Jakarta dengan beasiswa yang dia dapatkannya sewaktu  SMA. Dia Rian, sahabatku yang sangat menjagaku. Dia Rian yang sangat menyayangiku dan aku pun menyayanginya.

“ Pratitha Arya putriani!!!.” Suara itu…….
“ Mamaaaaahhhhhh…..!!!!!.” aku berteriak sekeras mungkin sambil mencari-cari dari mana asal suara mamah  memanggilku.
Ku teteskan air mata kerinduan,  karena tak kunjung ku temukan dimana mamah berada. Aku terpaku disini. Mereka bilang ingin menjemputku setelah sampai di Indonesia. Tapi, mana….??? Rinduku tak terbendung lagi. Derai air mata terus mengalir. Namun seorang memeluk dari belakangku, dia memelukku erat seolah tak ingin melepaskanku. Ku memberontak. Dan itu mamah,  papah,  juga rara. Mereka tersenyum bahagia mellihatku selamat sampai di Indonesia. Negri tercinta yang tak pernah ku pijaki  setahun lamanya. Kerinduan yang tak terhingga hingga air mata pun tak dapat berhenti untuk terus mengalir.
“ kakak…!!.” Adik kecil manisku memeluk tubuh ini erat. Hingga tak mampu ku tahan untuk tidak mencubit pipinya yang cabi itu. Aku pun menggendongnya.
“ ade gemukkan yah, ternyata setelah kakak pergi  ke luar negri untuk kuliah. Gak berebutan makanan lagi yah sama kakak.” Ungkapku sambil terus meneteskan air mata bahagia karena rindu ini akhirnya terbalaskan.
“ iya kak.” Jawab singkat rara sambil mencium keningku. Karena aku terus mendekapnya dalam gendonganku.
“ kalau kakak ada disini, nanti ade berebutan makanan lagi sama kakak. Mau???.” Tanyaku sedikit meledeknya.
“ gak apa-apa deh. Asalkan kakak ada di sini, nemenin rara. Rara kesepian, kakak gak ada di sini. Nanti makanan rara buat kakak aja biar kakak gak balik lagi ke australy.” Ungkap rara, adik kecilku yang berusia enam tahun itu.  Air mata makin berlinang mendengar ucapannya. Begitu polosnya dia berkata seperti itu. Mamah dan papah tertawa kecil sambil menahan air mata di pelupuk matanya yang mulai menggenang. Aku turunkan rara dari pelukkanku.
“ pah, mah…!.” Aku memeluk kedua orang tuaku. Cukup lama tak kurasakan peluk hangat orang tua yang sedari  kecil merawatku dengan cinta kasihnya.
“ tha’,” mamah memanggilku dengan panggilan khasnya sejak dulu hingga sekarang. semua  memang tidak berubah.
“ kami semua kangen sama kamu sayang.” ungkap papah, sambil mengelus rambutku yang terurai panjang.
Kami pun pulang kerumah. Namun seolah ada yang terlupa, tapi aku bingung apa itu. Dan aku pun terlelap karena lelah yang kurasakan membuat tubuhku terasa sakit dan pegal-pegal.

02-November-2012
Baru kusadari apa yang semenjak kemarin terlupakan, baru ku sadari begitu pentingnya sampai aku sendiri melupakannya. Begitu berharganya sampai membuatku resah, begitu berarti di hidupku. dialah sahabatku, Rian Pramudiansyah ardistya.  Sahabat semasa SMP dulu yang selalu jadi pelindung kala ku di jahili oleh teman-temanku.
Dengan  segera ku membuka jendela di pagi hari,  agar cahayanya masuk ketiap sudut kamar yang setahun lamanya tak pernah aku singgahi dan aku tiduri. Masih seperti dulu, sama seperti kala aku meninggalkannya untuk pergi study. Aku langsung bergegas mandi dan berpakaian rapi. Ingin hati menyapa dan memberi kejutan kepada sahabat atas kepulanganku ke Indonesia.

“ pagi, , pah mah, rara.” Sapaku pada mereka kala bertemu di maja makan.
“ tidurnya nyenyak ya ka.” Tanya rara.
“ iya sayang, kakak lelah banget. Badan serasa sakit dan pegal-pegal.” Ungkapkku rada mengeluh.
“ mau kerumah sakit tha’,…?.” Tanya mamah.
“ gak ahk mah, Cuma sakit gini doang.nanti  juga hilang sendiri.” Ungkapku sambil mengunyah roti rasa selai stroberi kesukaanku.
  rapih banget, mau kemana kamu tha’,…?.” Tanya papah, sambil menyeruput kopi kemudian kembali membaca Koran pagi.
“ mau kerumah rian. Kangen sama dia. Sekalian mau kasih kejutan atas kepulanganku.” Ungkapku begitu bahagia.
“ rian…???.” Ungkap mereka semua  terkejut.
 Mencoba meyakinkan mereka aku mengangguk sambil tersenyum.
“ kakak, kak rian sudah gak ada.” Ungkap rara.
“ maksud kamu apa sih, masih anak kecil gak tau apa-apa. Mending kamu abisin sarapannya terus berangkat k sekolah yuk. Kakak antar.” Ungkapku, tak  mempercayai perkataan rara meski wajah polosnya berusaha meyakinkan aku.
“ tha’, Rian memang sudah meninggal.” Ungkap mamah, sambil mengusap-usap pundakku.
“ mah, jangan  bercanda deh.” Ungkapku sambil tertawa-tawa. Meski sebenarnya hati bimbang dan kecewa. Mengapa? Mereka berkata demikian,padahal aku yakin Rian masih hidup dan menungguku. Menunggu, kami bermain kembali di taman, bersepeda dan jalan bersama.
“ benar apa kata mamahmu tha’,.” Ujar papa membenarkan perkataan mamah.
“ gak mungkin pah, rian tega ninggalin aku sendiri. Dia janji mau menjaga aku sampai aku temukan pendamping hidupku. Gak mungkin rian mengingkari  janjinya. Gak mungkin.” Aku terisak menangis, kemudian pergi kerumahnya mengendarai mobil yang setahun lamanya tak pernah aku kendarai lagi.
Sesampainya di rumah rian. Ku lihat tante irna, mamah rian sedang menyirami bunga kesayangannya. Aku parkirkan mobil, dan turun mengahampirinya.
“ tante.” Panggilku. Tante irna menoleh dan tersenyum bahagia.
“ Titha, kamu udah pulang ke Indo…  senang tante bisa melihatmu baik-baik saja.” Ungkap tante irna, sambil memelukku erat, kemudian mempersilahkan aku untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Ruangan dimana dulu aku sering belajar bareng dan bercanda bersama Rian.
Tante membawakan teh hangat dan meletakkannya diatas meja yang berhadapan denganku. Tante pun duduk di sampingku. Sambil tersenyum bahagia.
“ tante,” ujarku.
“ ya tha’.” Jawabnya.
“ rian mana?.” Tanyaku sambil mencari-cari.
“ tha’, jujur  tante gak mau mengingat semua ini. Tapi, tante gak bisa menutupinya dari kamu. Kamu sahabatnya, dan rian juga sangat  menyayangi kamu.” Ungkap tante irna.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini.
“ rian mana tante.” Ujarku bertanya seolah tak kuasa menahan rasa penasaran dan sesak yang menyiksa batinku.
“ rian sudah meninggal, setahun yang lalu.” Ungkap tante, kemudian menangis.
“ setahun yang lalu.” Ku ingat terakhir kali aku bertemu dengannya.
 Wajah pucat pasi yang saat itu menggambarkan bahwa keadaanya memang sedang tidak baik. Namun, ia tetap bersemangat dan tersenyum. Sambil berkata. “jaga diri ya. Jangan pernah lupain gue.” Ungkapnya.
“ rian mengalami kecelakaan setelah mengantarmu ke bandara.” Ungkap tante sambil menahan sesak dan air matanya. Aku semakin tidak percaya akan semua ini, semakin sesak dan tak mampu membendung air mata yang kian memberontak untuk keluar dan mengalir deras.
“ dia koma’, karena kecelakaan itu. Dia kekurangan darah. Dan akhirnya rian tak tertolong.” Ungkap tante irna terus menangis.  Ku merangkulnya, memberikan pundakku untuk tempatnya meluapkan airmata dan sesak kehilangan anak yang sangat dia sayangi itu.
“ gak mungkin tan, rian pergi begitu saja. Dia  berjanji untuk terus menemani aku. Dia gak pernah ingkar janji . Gak pernah.” Ungkapku terisak sambil menghapus air mata tante irna yang terus menderas. Tetapi tante irna terus meyakinkanku agar percaya atas semua ucapannya, dan memang kenyataan yang sulit tuk ku hadapi. Aku menunduk, dan menangis. Air mata seolah tumpah semua ke pipi dan menetes-netes membasahi pakaianku.
Ku menoleh ke atas meja bundar di pojok ruangan, masih terpajang dengan jelas foto kita berdua. Sewaktu kelulusan SMA. Foto terakhir sebelum aku berangkat ke Adelaide Australy. 

Wajahnya begitu ceria, seolah meninggalkan jejak perih dalam kenangan batin ini. Senyumannya sungguh membuat sesak dadaku, seolah menjerit dalam dinding kerongkonganku. Aku ingin melihatnya lagi Tuhan, aku ingin bersamanya lagi Tuhan. Aku ingin melihat senyumannya lagi. Aku tak ingin menyiakannya lagi Tuhan. Namun… semua terlambat. Dan semua takkan kembali terulang untuk kedua kalinya. 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar